Wabub Ngawi Berpesan : Jangan sampai ditinggalkan budaya luhur ini
Bahananews,Ngawi – Sore langit Desa Babadan, Kecamatan Paron Ngawi cukup cerah, sepanjang jalan sejak siang itu sudah dipadati warga yang hendak menikmati prosesi ganti langse, mereka yang datang capai ratusan tidak hanya berasal dari Ngawi saja bahkan dari luar kota.
“Sejak siang saya sudah antri di jalan ini mas,”ungkap Sulastri salah satu warga asal Sragen Jawa Tengah. Selasa (01/08/2023)
Sulastri berangkat bersama anggota keluarganya, sebelum prosesi arak-arakan langse dan punjungan menjadi salah satu prosesi ganti langse diberangkatkan dari pendopo desa menuju palenggahan Srigati.
“Kegiatan syarat dengan kebudayaan asli Kabupaten Ngawi, semoga terus dilestarikan,”tambahnya.
Ganti Langse atau adat budaya berupa ganti selambu mori putih yang difungsikan sebagai penutup Palenggahan Agung Srigati di Alas Ketonggo, Desa Babadan, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, sebagai tradisi tahunan setiap bulan Muharam/Suro yang dipatenkan pemerintah daerah Kabupaten Ngawi. Ritual ini cukup menyedot anemo masyarakat, tidak hanya local Ngawi tapi juga dari luar Ngawi. Bahkan sebelum pandemic mendunia akibat Covid – 19, pengunjung dari luar negeri.
“Dulu sebelum Covid-19, Malasyia, Singapura bahkan Thailand, datang ke Ngawi,” ungkap Suyitno juru kunci palenggahan Srigati.
Prosesi ritual tradisi yang syarat dengan spiritual tersebut digelar secara khidmat penuh penghayatan. Dengan diawali penyerahan kain selambu mori warna putih bersih sepanjang 15 meter kepada juru kunci. Selambu mori itu diserahkan oleh Dwi Rianto Jatmiko Wakil Bupati Ngawi kepada Suyitno didampingi sesepuh dan pemangku daerahpara setempat.
“Keragaman budaya menjadi ciri khas suatu daerah, ganti langse ini semoga bisa diteruskan kepada generasi mendatang,” tambah Antok demikian panggilan akrab Wakil Bupati Ngawi.
Menyusul acara yang paling ditunggu-tunggu yakni Ganti Langse dilakukan oleh para tokoh masyarakat dalam hal ini para perangkat Desa Babadan. Kemudian Langse/mori yang sudah diganti atau Langse lama diserahkan kembali kepada Suyitno selaku juru kunci Palenggahan Agung Srigati untuk dibagikan kepada warga masyarakat.
“Hal ini sudah menjadi kebiasaan, langse lama di serahkan kepada warga yang datang dan sengaja menunggu pembagian,”tambah Juru kunci palenggaghan Srigati.
Kemudian terkait tradisi Ganti Langsesendiri menurut Suyitno secara gamblang menerangkan asal-usul Palenggahan Agung Srigati maupun tradisi Ganti Langse itu sendiri. Suyitno secara tuntas menerangkan asal mula dari keberadaan Palenggahan Agung Srigati. Menurutnya sejarah mencatat keberadaan Srigati di Alas Ketonggo erat kaitanya dengan masa runtuhnya Kerajaan Majapahit kala itu dibawah Prabu Brawijaya V.
“Berawal dari Prabu Brawijaya V yang pernah singgah ke Srigati, sebelum melakukan pertapaan,”jelas Suyitno.
Suyitno mengutip pernyataan Gusti Pangeran Dorodjatun dari Kasunanan Surakarta tahun 1974 ketika itu mendatangi Alas Ketonggo sesuai mata bathinya atau hasil penerawanganya mengatakan didekat lokasi Tempuran Pesing ada Punden Krepyak Syeh Dombo. Di punden itu mendasar keterangan Pangeran Dorodjatun saat itu dapat dikaitkan dengan riwayat perjalanan atau lengsernya Prabu Brawijaya sebelum muksa di puncak Gunung Lawu.
“Raden Said putra Prabu Brawijaya pernah juga sampai di hutan Srigati ini,”jelasnya
Di Punden Krepyak Syeh Dombo yang sekarang dikenal Punden Srigati itu ditengarai Prabu Brawijaya melepaskan baju kebesaranya dengan dilanjutkan siram jamas di Kali Tempur yang berada kurang lebih 200 meter dari Punden Srigati.
Setelah siram jamas sebagai bentuk penyucian diri lalu Prabu Brawijaya bersemedi/berdoa dan mendapatkan satu petunjuk dari Tuhan YME untuk pergi ke puncak Gunung Lawu secara Islam dengan gelar Sunan Lawu.
“Prabu Brawijaya juga dikenal dengan Sunan lawu atau mbah Lawu,”tambahnya.
Histori itu kata Suyitno masih mengutip pernyataan dari Pangeran Dorodjatun, bahwa Alas Ketonggo pada dasarnya mempunyai riwayat keterpaduan dengan Kerajaan Majapahit. Hal itu sesuai survey Pangeran Dorodjatun yang diawali dari wilayah Trowulan Mojokerto sampai Alas Ketonggo berlanjut ke puncak Gunung Lawu.
Sedangkan Tradisi Ganti Langse dimulai dan dilaksanakan sejak tahun 1988 oleh Mbah Somodarmojo Kepala Desa Babadan kala itu. Intinya Ganti Langse merupakan bentuk perwujudan atas sebuah harapan kepada Tuhan YME sebagai harapan baru akan perjalanan hidup menuju ketentraman dan kesejahteraan.
Untuk pelaksanaan tradisi Ganti Langse memang dilaksanakan setiap bulan Muharam/Suro tepat pada bulan purnama dalam hal ini jelas tanggal 15 hitungan bulan Hijriyah tanpa melihat hari maupun weton pasaran dalam hitungan penanggalan Jawa.
“Ganti langse ini dilakukan tepat tanggal 15 penanggalan jawa dan melihat pula bulan purnama,”tutupnya. (Ard/adv)